Beranda / Ekonomi

Bunga Bank dan Riba, Apakah Berbeda atau Sama?

31 August 2018

Perbankan adalah suatu bentuk instrumen pada alur gerak perekonomian. Tugas dari lembaga ini adalah menghimpun dana dari kalangan masyarakat serta menyalurkannya kembali kepada mereka dalam bentuk yang bervariasi, misalnya kredit. Hampir seluruh aktivitas di keseharian kita berkaitan dengan bank. Mulai dari jual beli, persewaan dan lainnya. Ada yang memakai bank syariah atau bank konvensional dengan tawaran sistem bunga bank yang berbeda-beda.

Dalam prakteknya, bank konvensional dikenal memiliki istilah bunga sedangkan syariah dikenal memiliki konsep bagi hasil. Namun yang cukup menjadi kontroversi dikalangan masyarakat adalah apakah bunga bank sama dengan riba atau anak uang? Bagaimana cara kita menanggapinya sebagai salah satu umat yang beragama Islam?

 

Pendapat Para Ulama Mengenai Riba

Pertumbuhan yang pesat akan Lembaga Keuangan Syariah beserta berbagai instrumen memicu optimisme rakyat mengenai anak uang. Meskipun secara literatur di dalam dalil al-Qur’an sudah banyak disebutkan mengenai pelarangan menganakkan uang. Setidaknya istilah tersebut disebutkan dalam al-Quran sebanyak 8 kali pada empat surat berbeda.

 

Mayortas ulama khalaf dan salat, termasuk ulama dari kalangan Sunni Al-I’immah Al-Mujtahidin dan Sayyid Abu al-A’la al-Maududi mengungkapkan dalam kitabnya bahwa anak uang hukumnya haram berdasarkan dengan surah al-Baqoroh ayar 275-278. Anak uang yang dimaksud yaitu jenis an-nasi’ah. Ulama Al-Maududi kemudian melanjutkan bahwa tambahan bunga bank (intrest) merupakan golongan anak uang yang dilarang. Fatwa MUI tahun 2004 menyatakan bahwa intrest merupakan anak uang dan hukumnya haram.

Menurut ulama modernis, yakni Rasyaid Ridha dan Muhammad Abduh, mengungkapkan pendapat bahwa intrest dapat dikategorikan dalam anak uang apabila uang tersebut menjadi berlipat ganda. Ungkapan pendapat ini berdasarkan pada ayat suci Al-Qur’an yakni surat Ali Imran ayat 130. Dampaknya yakni Abdul memperbolehkan anak uang dengan alasan, pertama, anak uang tersebut tidak bersifat menindas dan justru mendorong kemajuan perekonomian. Kedua, menabung di dalam bank merupakan bentuk kerja sama. Ketiga, sebagai akibat dari alasan pertama, yakni perbankan bisa mendorong kemajuan pada bidang lain selain ekonomi.

Menurut pendapat Muhammad Asad (1984), Fazlurrahman (1984) dan Said Najjar (1989), anak uang dianggap haram sebab bersifat eksploitatif. Mereka memahami berbagai ayat mengenai anak uang dan lebih melihat aspek moral dibandingkan dengan legal formalnya. Dalam pandangan mereka hukum bunga menjadi relatif dan fleksibel. Bunga tersebut terlarang jika dalam prakteknya mengandung unsur eksploitasi pada debitur.

 

Dengan pandangan diatas, bisa dilihat bahwa para ulama memiliki pandangan yang bervariasi mengenai apakah bunga bank termasuk dalam riba atau bukan. Lantas, bagaimana seharusnya sikap kita dalam menanggapi hal tersebut? Apa bisa dikatakan bahwa bunga dari bank sama dengan anak uang?

Jawabannya bisa dilihat dan dianalisa berdasarkan dampak dari keduanya. Bagaimana perekonomian kita dengan anak uang atau bunga, dibandingkan dengan sistem bagi hasil dari perekenomian syariah. Sekarang ini banyak bank konvensional yang mendirikan cabang syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam. Yang jelas dalam bank syariah memiliki dua tujuan yakni lancar di dunia dan juga lancar diakhirat.

Kesimpulannya bunga bank dan riba sama-sama bentuk penggandaan uang yang tidak sah dalam Islam. Namun yang berbeda adalah anak uang merupakan sistem penggandaan uang namun cenderung untuk kepentingan individu (misalnya renternir) yang jelas tidak sah dalam Islam. Adapun bunga dari bank sistemnya untuk kepentingan masyarakat demi mendapatkan keuntungan yang dibagi oleh anggota serta dianggap sah menurut hukum.